1.1.Pendahuluan
Permasalahan
kenaikan harga daging sapi membuat masyarakat semakin sulit unuk
mendapat daging dengan harga yang wajar.Terlebih lagi umat islam
mendekati hari raya Idul Adha yang sangat membutuhkan daging sapi
dengan kuota yang besar dan dengan harga yang wajar.
Program
pemerintah yaitu Swasembada daging sapi dan Program stop impor daging
sapi dari luar negeri,Harapkan kedepan dari program ini adalah negara
Indionesia akan memiliki perternakan sendiri yang lebih menguntungkan
negera ketimbang mengimpor daging sapi dari luar negeri,yang akan
membuat negara pengimpor sapi ke Indonesia mendapatkan keuntungan
yang lebih besar.
Solusi
yang dilakukan Pemerintah Indonesia pun beragam,yakni pembatasan
impor daging ke dalam negeri,dan mencari oknum-oknum tertentu yang
menyebabkan harga daging sapi dipasaran melambung tinggi di atas
rata-rata harga normalnya.
Dalam
makalah ini kita akan mebahas tentang penyebab permasalahan tingginya
harga sapi di pasaran,mengetahui permasalannya di lapangan dan apa
solusi kedepannya agar harga daging sapi di indonesia tidak melambung
tinggi,terutama di hari-hari besar sperti Idul Adha,dimana masyaakat
banyak membutuhkan daging sapi dengan harga terjangkau.
2.1.Pembahasan
Harga
daging melonjak. Diduga ini merupakan permainan pihak-pihak tertentu
yang ingin mengerek harga daging. Pemerintah dinilai tak sigap dalam
mengantisipasinya.
Kenaikan harga daging kali ini merupakan yang tertinggi dalam tiga dekade terakhir. Tingginya harga daging sapi ini juga memberikan dampak pada praktek bisnis kotor yang dilakukan oleh oknum tertentu, yaitu beredarnya daging sapi glonggongan. Praktek bisnis dengan memaksa memberi air minum sapi (dipompa melalui mulut) hingga 100 liter/ekor sampai sapi ‘teler’ gemetar dan pingsan sebelum dipotong, demi mengeruk keuntungan. Dapat dihitung berapa keuntungan yang diperoleh jika air yang terikut dalam daging misalnya separuhnya saja (50 kg) berarti ada potensi keuntungan 3,5 - 4 juta rupiah/ekor. Di pasar-pasar tradisional kemungkinan beredarnya daging sapi glonggongan yang dijual lebih murah (70-75 ribu/kg) dibanding daging sapi non-glonggongan.Oleh karena praktek kotor bisnis daging sapi yang tidak memperhitungkan peri-kehewanan ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa haram mengkonsumsi daging sapi glonggongan.Terlebih akhir-akhir menjelang hari Idul Adha yang mana kebutuhan daging sapi meningkat yang membuat oknum-oknum tertentu membuat kecurangan demi meraup untung yang berlipat ganda dengan cara menimbun daging sapi sampai harga benar-benar sangat tinggi.Imbasnya,masyarakat menuding pembatasan impor daging adalah penyebabnya.
Kenaikan harga daging kali ini merupakan yang tertinggi dalam tiga dekade terakhir. Tingginya harga daging sapi ini juga memberikan dampak pada praktek bisnis kotor yang dilakukan oleh oknum tertentu, yaitu beredarnya daging sapi glonggongan. Praktek bisnis dengan memaksa memberi air minum sapi (dipompa melalui mulut) hingga 100 liter/ekor sampai sapi ‘teler’ gemetar dan pingsan sebelum dipotong, demi mengeruk keuntungan. Dapat dihitung berapa keuntungan yang diperoleh jika air yang terikut dalam daging misalnya separuhnya saja (50 kg) berarti ada potensi keuntungan 3,5 - 4 juta rupiah/ekor. Di pasar-pasar tradisional kemungkinan beredarnya daging sapi glonggongan yang dijual lebih murah (70-75 ribu/kg) dibanding daging sapi non-glonggongan.Oleh karena praktek kotor bisnis daging sapi yang tidak memperhitungkan peri-kehewanan ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa haram mengkonsumsi daging sapi glonggongan.Terlebih akhir-akhir menjelang hari Idul Adha yang mana kebutuhan daging sapi meningkat yang membuat oknum-oknum tertentu membuat kecurangan demi meraup untung yang berlipat ganda dengan cara menimbun daging sapi sampai harga benar-benar sangat tinggi.Imbasnya,masyarakat menuding pembatasan impor daging adalah penyebabnya.
Penyebab
tingginya harga sapi ini pun beragam yang pada intinya yang hampir
pasti adalah tidak seimbangnya antara suplai dan permintaan daging
sapi menjadi menyebab utamanya. Kelangkaan ketersediaan barang akan
menyebabkan tingginya harga. Jumlah penduduk Indonesia saat ini
kurang lebih 240 juta jiwa. Rata-rata konsumsi daging sapi nasional
per tahunnya berkisar 450 ribu ton. Jika dibandingkan dengan jumlah
penduduk di atas berarti konsumsi masyarakat kita kurang dari 2
kg/kapita/tahun. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pasokan daging
sapi dipenuhi dari produksi dalam negeri dan dari luar negeri.
Diperkirakan 70 % dipenuhi dari dalam negeri dan 30 % dari impor
khususnya dari Australia.
Sejak
tahun 1990, Indonesia mulai mengimpor sapi hidup dari Australia. Pada
tahun 1990, impor sapi 8.061 ekor namun pada tahun-tahun
berikutnya tumbuh dan berkembang sangat pesat bahkan secara
eksponensial dengan rata-rata 2 kali lipat per tahun dan pada tahun
1997 mencapai 428.077 ekor atau naik 53 kali lipat, dan puncaknya
pada tahun 2009 impor sapi hidup dari Australia mencapai 772.868 ekor
yang merupakan rekor tertinggi sepanjang 20 tahun
sejak
1990 (MLA, 2010). Apabila ditambah dengan nilai impor daging beku dan
jerohan yang mencapai 110 ribu ton atau senilai 2,5 triliun
(Statistik Peternakan, 2010), maka total nilai impor daging beku dan
sapi hidup tahun 2009 mencapai 7,3 triliun rupiah. Akibat impor yang
nampaknya sangat berlebihan inilah penyebab anjlok dan terpuruknya
peternakan sapi lokal pada tahun 2009. Oleh karena itu dapat dipahami
jika pemerintah bertekad untuk mengembangkan sapi agar tercapai
swasembada daging sapi pada tahun 2015, salah satunya dengan cara
mengendalikan impor daging sapi dan sapi hidup secara bertahap.
Diakui atau tidak, kebijakan pemerintah khususnya pengaturan impor
akan sangat memengaruhi suplai dan harga daging sapi di dalam negeri.
Ketidak
seimbangan antara permintaan dan ketersediaan daging sapi inilah yang
menurut saya akar masalah dari melambungnya harga daging sapi. Dalam
hal ini dapat dikatakan gagalnya peran pemerintah dalam menjaga dan
mengatur keseimbangan antara permintaan dan ketersediaan daging sapi.
Mengapa hal ini bisa terjadi ? Ada beberapa kemungkinan yaitu asumsi
yang tidak akurat terhadap prediksi potensi produksi daging sapi
dalam negeri sehingga terlalu rendahnya kuota impor atau kedua asumsi
tersebut tidak akurat. Faktanya mencari sapi lokal tidak mudah dan
tidak adanya stok yang siap untuk dipotong dan harganyapun juga
tinggi. Tidak bermaksud menggugat akurasi data populasi sapi hasil
sensus sapi yang menemukan angka populasi sapi mencapai 14,8 juta
ekor, yang secara teori cukup memenuhi kebutuhan daging sapi dalam
negeri. Namun perlu diperhatikan bahwa keberadaan sapi tersebut
tersebar luas di seluruh pelosok Indonesia ini, sehingga mobilisasi
ke pusat-pusat permintaan daging sapi menjadi tidak mudah. Disamping
itu mayoritas (90%) ternak sapi dipelihara oleh para peternak rakyat
dengan modus usaha sambilan, sehingga sapi dijual ketika peternak
membutuhkan uang. Jika mereka tidak membutuhkan uang, sapi
tidak akan dijual. Fakta ini dapat dilihat di pasar-pasar hewan yang
relatif sepi pada musim tertentu (awal musim tanam) dan melimpah pada
kurun waktu tertentu seperti tahun ajaran baru saat anak masuk
sekolah,menjelang Hari Raya Idul Adha,dan hari-hari besar
lainnya,yang dimana itu memerlukan daging sapi dengan jumlah yang
banyak/besar. Inilah ‘simalakama’ dan dilema per-sapi-an di
Indonesia.
2.2.Solusi
Adapun
solusi yang harus kita jalankan bersama iyalah mengharapkan
pemerintah untuk lebih tegas dalam menjalankan berbagai
program-programnya,walaupun kita tidak bisa berpatokan penuh kepada
pemerintah secara sepenuhnya,namun pemerintah mempunyai wewenang dan
peran yang sangat penting dalm hal pengendalian harga daging
sapi,terutama kenaikan harga menjelang hari raya Idul Adha dan
hari-hari besar lainnya dimana daging sapi sangat banyak di butuhkan
oleh konsumen.
Di
harapkan dalam jangka pendek ini,pemerintah dapat duduk bersama para
stakeholders
terkait perdagingan sapi (pengusaha, pedagang, peneliti-akademisi,
peternak) untuk merumuskan dan menentukan kembali titik keseimbangan
pemasokan dan permintaan daging sapi di dalam negeri dengan dilandasi
semangat kejujuran dan keterbukaan.
Diharapkan
pemerintah dapat Mengevaluasi dan menetapkan angka kuota impor sapi
dan
daging
sapi setiap triwulan pada tahun berjalan dengan melibatkan para pihak
terkait.Dan bersungguh-sungguh (berjihad) dalam mengembangkan
industri peternakan sapi di Indonesia melalui berbagai instrumen
kebijakan yang memihak kepentingan nasional, mencapai program
swasembada daging sapi.